“
Nih, gua tinggal keluar sebentar aja udah dapet ide. Gak perlu ngerokok
segala.” Kata Riko seraya menyindirku.
“
… “
Aku
hanya bisa tersenyum sinis menanggapi perkataan sahabatku itu.
.
Sudah lebih dari duapuluh tahun Aku dan
Riko bersahabat. Dia tahu persis kebiasaanku yang satu ini. Bila ada sedikit
masalah dan diserang kebuntuan, Aku akan memancing solusi dan ide itu melalui
hisapan batang putih yang selalu menemaniku. Entah sejak kapan, Aku benar-benar
tidak bisa lepas darinya.
Layaknya sepasang kekasih yang tidak
bisa dipisahkan karena kecanduan cinta. Mungkin bisa dibilang, dia adalah
sahabat terbaikku setelah Riko.
.
.
.
“ UHUUKK… UHUUUUKKK… HOOOEEEKKKK “
“ Loe kenapa, Dan? Kalau sakit mending
periksa ke dokter lah.” Saran Riko padaku.
“ Iya, ntar gua ke dokter. “ sambil
mengeluarkan rokok putih dari dalam saku celana.
“ Loe tuh lagi sakit masih aja ngerokok.
“
“ Ya, kalau gak gini gua makin sakit, bro.
Kayak gak tahu gua aja. Ngisep ginian bikin sakit jadi ilang.” Jawabku
menjelaskan.
“ Ah, itu mah alasan loe doang karena
loe kecanduan.” Sindir Riko padaku.
“ Iya, kecanduan cinta. Jadi gak bisa
lepas. Hahaha….” Candaku sekenanya.
Sudah berkali-kali Riko, sahabatku ini, memintaku
untuk memeriksakan diri ke dokter. Tapi rasanya itu percuma. Aku bosan dengan
permintaan dokter yang menyuruhku berhenti merokok. Bahkan hanya sakit ringan
pun dokter menyuruhku untuk berhenti merokok.
Menurutku dengan hanya menghisap
sebatang saja, rasa sakitku bisa hilang begitu saja. Bagaimana bisa dokter
menyarankanku untuk meninggalkan teman lama yang sudah menemaniku hampir seumur
hidup? Itu tidak mungkin.
.
.
.
Badanku terasa lemas, bibirku kelu dan
mataku terasa berkunang-kunang. Aku tidak bisa melihat dengan jelas, hanya
dapat mendengarkan samar-samar orang yang sedang berbicara. Terdengar suara
teman-teman yang Aku kenal, dari nada suaranya entah apa yang mereka
khawatirkan. Lama-lama suaranya makin samar kudengar, makin pelan sampai Aku
tidak mendengarkannya lagi.
.
“ Di… di… dimana ini? “ tanyaku sambil
merintih menahan sakit.
“ Mas-nya ada di rumah sakit. Jangan
bayak bergerak dulu mas, di tempat tidur aja. Mas-nya harus banyak istirahat.”
Jawab seorang wanita yang berpakaian layaknya suster itu.
Aku di rumah sakit? Kenapa bisa sampai
ke sini? Ah, ini pasti mimpi. Mungkin dengan memejamkan mata, esok hari Aku
akan kembali seperti semula. Yang kubutuhkan saat ini hanya lah tertidur,
mengistirahatkan sejenak badanku yang terasa sakit seperti tertimpa ribuan
beton.
.
.
Keesokan
harinya
“ Hai Dan, udah siuman Loe? Gimana
keadaan Loe? “
Aku hapal betul dengan suara itu. Ya,
itu suara Riko, sahabatku. Aku pun mencari asal suara itu sambil memicingkan
mata yang masih belum mau terbuka lebar. Samar-samar Aku melihat sesosok pria
yang ada di hadapanku, makin lama makin terlihat jelas. Benar, itu Riko.
Tunggu. Apakah aku masih ada di dalam mimpi?
Ruangan ini bukan kamar kosku. Aku ingat
betul, warna cat-nya bukan putih dan kasurnya masih lebih empuk dari kasur yang
aku tiduri sekarang ini. Ku lihat tangan kananku, tertancap jarum infus yang
selang-selangnya melingkari telapak tanganku. Seraya tidak percaya, aku terus
memandangi ruangan sekitarnya meyakinkan diri bahwa ini bukan lah mimpi.
“ Dan… Danny, Loe gak apa-apa kan? “
tanya Riko. Seraya menyadarkanku dari lamunan.
“ Gua di rumah sakit ya Ko? Dari kapan?
“ tanyaku seolah masih belum percaya.
“ Becanda loe? Loe ada di sini dari dua
hari yang lalu. Waktu itu gua ditelpon sama temen kantor loe, kalau loe pingsan
dan ada darah di mulut loe. Terus mereka bawa loe ke rumah sakit ini. “
“ Emang gua sakit apaan? UHUUUKK…
UHUUUUKKKK….” Sambil terus ngurut dada yang terasa sesak.
“ Mending loe tanya langsung ke dokter.
Dokter yang lebih berhak ngejelasin kondisi loe itu.”
Aku hanya bisa mengerutkan dahi. Tidak
biasanya Riko bersikap seperti itu, seolah-olah menutupi sesuatu dariku.
.
.
.
Angin berhembus sepoi-sepoi sore ini.
Langit senja yang berwarna jingga seolah ingin menutup hari ini cepat-cepat. Entah
kenapa, sore ini terlihat lebih indah dari sore-sore sebelumnya. Aku yang
berdiri di atas gedung sangat menikmati suasana sore ini, seolah-olah ini
adalah sore terakhir yang bisa kunikmati.
Menikmati suasana sore itu, pikiran ku
terus melayang. Teringat perkataan dokter waktu itu. Aku, aku masih belum bisa
percaya. Mungkin tidak mau percaya, bahwa umurku hanya tinggal menghitung
bulan. Kanker paru yang menggerogoti tubuhku sudah mencapai stadium empat. Meskipun
aku tahu kondisi ku kini, aku tidak bisa menghentikannya.
Ku ambil bungkusan kecil dalam saku
celana ku. Ku bolak-balikkan kerdus mungil yang ada di tanganku itu, ku
baca-baca tulisan yang tertera di sana. Salah satu tulisan yang sering aku
lihat dan baca “ Merokok Membunuhmu “.
Suatu peringatan yang tertulis jelas, tapi selalu terabaikan.
Ku pantikkan korek api, menghisap
dalam-dalam batang rokok yang dibakar. Kemudian, kuhembuskan perlahan asap-asap
yang tertahan di mulutku. Ini yang terakhir, batinku. Seandainya aku tidak
mengenal mu sejak dulu, kawan.
#DiaryofZombigaret
Teman, Jangan Ambil NyawaKu!
Reviewed by Unknown
on
08.33
Rating:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar